“Leon, Anak Orang Kaya yang Nongkrong di Masjid”
Leon bukan nama yang biasa terdengar di masjid kampung kami.
Nama itu lebih cocok buat anak-anak di sekolah internasional, yang nongkrongnya
di rooftop café sambil bawa laptop dan minum kopi seharga sepiring nasi padang.
Dan memang… Leon bukan anak biasa.
Anak tunggal dari pemilik showroom mobil terbesar di kota. Sekolahnya di luar
negeri, liburannya ke Swiss, bajunya selalu wangi parfum mahal.
Tapi sejak pulang ke Indonesia tahun
lalu, kami mulai sering lihat dia… duduk di tangga masjid.
Pakai kaos polos, sandal jepit, dan celana training. Tanpa gaya. Kadang tidur
siang di serambi, kadang bantu ngepel sajadah tanpa diminta.
Awalnya kami kira itu cuma “fase
hijrah sementara”.
Tapi minggu demi minggu, bulan berganti bulan, Leon tetap di situ.
Ikut salat jamaah, bantu bagi-bagi takjil, bahkan pernah jadi MC acara Maulid
yang bikin ibu-ibu takjub:
“Waduh, anak siapa itu, santun banget ngomongnya…”
Ada satu sore yang aku ingat betul.
Leon duduk di tangga masjid, lihatin bocah-bocah kampung main bola.
Aku duduk di sebelahnya, iseng nanya,
“Bro, kenapa lo nongkrongnya di sini sih? Bukannya tempat lo bisa lebih mewah?”
Leon senyum. Tenang. Nggak marah.
“Karena di tempat mahal, orang saling pamer. Tapi di sini… orang saling doain.”
Aku diam. Kena banget.
Leon sekarang rajin ngajak anak-anak
remaja masjid buat ikut belajar bareng. Dia bawa laptop, ajarin kami bikin
desain, ngedit video, bahkan bantu kami bikin akun YouTube kajian.
Dia juga pernah bilang,
“Gue nggak mau kaya sendirian. Kalau bisa, yang lain ikut naik.”
Dan benar.
Gara-gara dia, banyak anak kampung kami yang dulu minder, sekarang mulai pede.
Mulai ngedit, bikin konten, bahkan beberapa dapat kerja freelance.
Leon, anak orang kaya. Tapi hatinya
nggak sibuk naik mobil mewah.
Hatinya malah duduk… di lantai masjid.
Dekat sendal, dekat sajadah, dekat orang-orang yang doanya sederhana tapi
tulus.
Comments
Post a Comment