Mikro di Ujung Jalan, Makro yang Tak Peduli
Setiap hari, jutaan pengemudi ojek online (ojol) melaju di jalanan kota. Mereka hadir saat kita terburu-buru, lapar, atau perlu kiriman cepat. Namun, di balik seragam hijau dan senyum ramah itu, tersembunyi kenyataan yang jarang kita perhatikan: jam kerja panjang, pendapatan yang tak menentu, dan relasi kerja yang timpang.
Mereka adalah simbol dari ironi ekonomi digital Indonesia:
berada di garis depan pertumbuhan, tetapi tetap tertinggal tanpa perlindungan
hukum yang memadai.
Ketika Angka Ekonomi Tak Mewakili Hidup
Nyata
Sektor ride-hailing menyumbang sekitar Rp382 triliun atau 2
persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional pada 2023 (ITB, 2023).
Gojek menyebut memiliki lebih dari 3 juta mitra pengemudi per akhir 2024. Namun
dari sekitar 2 juta pengemudi aktif, hanya sekitar 250 ribu yang terdaftar
sebagai peserta jaminan sosial ketenagakerjaan (Kompas.id, 2025). Sebagian
besar tetap berada dalam ketidakpastian, tanpa jaminan kecelakaan kerja,
tunjangan hari tua, atau kepastian pendapatan.
Status “mitra” yang disematkan kepada mereka tidak serta
merta berarti otonomi. Justru sebaliknya, relasi kerja sepihak dengan platform
digital membuat mereka rentan terhadap perubahan algoritma, pemotongan komisi,
bahkan penonaktifan akun secara sepihak.
Jalan Panjang Menuju Keadilan
Pemerintah sebenarnya telah memiliki regulasi berupa Peraturan
Menteri Perhubungan Nomor KP 667 Tahun 2022 yang mengatur batas maksimal
komisi platform. Namun dalam praktiknya, pengawasan masih lemah. Banyak
pengemudi melaporkan sistem insentif yang berubah sewaktu-waktu tanpa
pemberitahuan.
Sebagai respon atas desakan dari komunitas pengemudi,
Kementerian Ketenagakerjaan kini tengah merumuskan Peraturan Menteri
Ketenagakerjaan (Permenaker) yang diharapkan rampung pada Desember 2024,
untuk memberikan kerangka perlindungan hukum bagi pekerja luar hubungan kerja
di sektor digital.
Langkah ini patut diapresiasi, tetapi tantangan implementasi
akan tetap besar jika tidak disertai keberpihakan politik dan sistem pengawasan
yang memadai.
Cerita yang Tak Tercatat Statistik
Pak Rudi, pengemudi yang saya temui di pinggir jalan Bandung
Oro-oro Dowo, mulai bekerja sejak pukul 5 pagi. "Kalau ramai, bisa dapat
Rp150 ribu. Tapi kalau hujan atau order sepi, ya cuma cukup buat bensin,"
katanya. Ia belum memiliki BPJS Ketenagakerjaan dan tak tahu ke mana harus
mengadu jika akun dibekukan.
Cerita lain datang dari Mbak Lina, ibu dua anak yang sempat
kehilangan akun karena dianggap curang. Padahal saat itu ia hanya meminjam
ponsel suaminya karena ponselnya rusak. Tak ada proses klarifikasi. Tak ada
ruang banding.
Kisah-kisah ini mungkin tidak tercatat dalam statistik
pertumbuhan ekonomi digital, tetapi menjadi realitas sehari-hari bagi jutaan
orang.
Penutup: Menata Arah Pertumbuhan
Pertumbuhan ekonomi yang sehat tidak hanya dinilai dari
angka PDB, tetapi dari sejauh mana ia memberikan manfaat nyata bagi mereka yang
ada di garis bawah. Para pengemudi ojek online telah menjadi tulang punggung
ekonomi kota—mereka layak mendapatkan lebih dari sekadar bonus insentif dan
label mitra.
Sudah waktunya negara, korporasi digital, dan masyarakat
menyadari: tidak ada ekonomi digital yang adil tanpa keberanian untuk berpihak.
Karena mereka—para pengemudi di ujung jalan—juga warga negara. Dan tak ada
negara yang boleh membiarkan sebagian warganya bekerja keras dalam sistem yang
tak memihak.
Comments
Post a Comment