Reva, dan 100 Kotak Nasi dari Uang Jajan
Nama lengkapnya Revalina Putri Maharani. Tapi teman-temannya lebih sering panggil dia: Reva.
Anak tunggal, cucu konglomerat, sekolah di SMA internasional, dan punya lebih
banyak sepatu daripada jumlah tugas mingguan.
Tiap pagi Reva diantar sopir dengan
mobil listrik warna pastel, masuk sekolah dengan aroma parfum mahal, dan duduk
di kantin yang lebih mirip café Instagramable. Tapi dia diam. Tidak suka pamer.
Tidak suka keramaian.
Reva punya satu kebiasaan aneh.
Tiap Jumat siang, dia selalu minta turun dari mobil jauh dari rumah.
“Biar jalan kaki sebentar, Pak. Sekalian lihat dunia,” katanya ke sopir.
Tapi kenyataannya… dia tidak pulang.
Dia belok ke warteg kecil di pojokan gang. Warteg yang lampunya remang dan
kursinya tiga.
“Ibu, hari ini masih bisa buat 100
kotak nasi rendang telur?”
Si ibu warteg melongo, lalu tersenyum lebar, “Masih bisa, Nak Reva. Untuk
Jum’at berkah lagi ya?”
Reva angguk. Dari tas kecilnya, dia
keluarkan amplop putih. Isinya uang jajan seminggu penuh—yang katanya buat
hangout, belanja, dan nonton. Tapi sejak tiga bulan lalu, Reva diam-diam
mengubah arah uang itu.
Hari itu, 100 kotak nasi dibagikan
ke tukang sapu jalan, abang ojek online, pengemis di lampu merah, sampai ke
satpam sekolah SD negeri dekat situ.
Beberapa orang bertanya, “Ini dari
siapa?”
Ibu warteg hanya menjawab, “Dari Reva. Anak muda yang nggak banyak gaya, tapi
banyak rasa.”
Tak ada video, tak ada unggahan
story.
Cuma nasi hangat, dibungkus rapi, dan senyum tulus dari orang-orang yang
menerimanya.
Reva tahu, dia tidak akan pernah
bisa hidup seperti mereka yang harus memilih antara beli bensin atau makan
siang. Tapi ia percaya:
kalau hatimu cukup besar, uang jajan pun bisa jadi jembatan.
Dan Reva memilih itu.
Menjadi jembatan yang diam, tapi kuat.
Di dunia yang terlalu bising oleh konten,
ia memilih memberi—tanpa banyak kata.
Comments
Post a Comment