“Seragam Robek, Nilai Sempurna”
Aku Naya.
Anak SMK biasa, tinggal di gang sempit yang kadang becek, kadang ramai suara
tukang bakso lewat. Seragam sekolahku cuma satu. Udah tipis, ada sobekan kecil
di ujung lengan kanan. Tapi itu yang kupakai tiap hari, dicuci malam, dijemur
sebelum subuh.
Aku nggak malu. Tapi kadang... ya,
sedih juga. Apalagi pas liat teman-teman ganti seragam baru, pakai sepatu
keren, bawa bekal lucu. Sementara aku cuma bawa air putih dan nasi bungkus dari
warung Mak Jum.
Tapi aku percaya, Tuhan itu adil.
Kalau aku nggak bisa punya banyak, mungkin aku diminta untuk berusaha lebih
keras. Jadi aku belajar. Setiap malam, meski lampu rumah sering padam, aku
nyalain lilin atau duduk di warung depan yang masih terang. Baca buku, hafalin rumus,
tulis-tulis catatan kecil yang kuselipkan di dompet plastik.
Kadang tukang gorengan di warung
nyeletuk,
"Belajar terus, Nay? Nggak capek?"
Aku cuma senyum, “Capek, Bang. Tapi
lebih capek kalau mimpi nggak kejar-kejar.”
Ujian datang juga. Aku ngerjain
semuanya dengan tenang. Bukan karena pede, tapi karena aku tahu... ini
satu-satunya tiketku. Aku nggak bisa beli jalan pintas. Satu-satunya yang
kupunya cuma otak dan doa ibu.
Beberapa minggu kemudian, pengumuman
keluar. Aku nggak sengaja lihat papan tulis di depan ruang guru. Namaku paling
atas. Nilai tertinggi se-kota.
Rasanya campur aduk. Tanganku
dingin. Kakiku gemetar. Tapi di dalam dada, ada yang hangat. Kayak pelukan dari
semesta.
Besoknya aku dipanggil ke kantor
sekolah. Guru-guru ngasih selamat, ada yang sampai nangis. Bahkan kepala
sekolah bilang aku bakal dikasih beasiswa ke universitas.
Aku pulang naik angkot sambil
senyum-senyum sendiri.
Di rumah, aku peluk ibu erat-erat. Dia cuma bilang, “Naya udah buktiin, kalau
anak kecil dari gang sempit ini bisa punya masa depan yang luas.”
Dan aku tahu… mimpi itu bukan soal
punya banyak. Tapi soal percaya dan jalan terus, walau sepatu kita bolong, dan
seragam kita robek.
Comments
Post a Comment