Api di Timur Tengah, Bara di Dapur Kita
Ketika rudal ditembakkan di langit Iran dan Israel, getarannya terasa hingga meja makan rakyat Indonesia. Perang yang tampak jauh itu sesungguhnya sedang mengetuk dapur kita, memaksa ibu rumah tangga menakar ulang belanja harian, membuat petani berpikir dua kali sebelum membeli solar, dan memicu sopir ojek daring menghitung ulang penghasilan yang makin tipis.
Konflik Iran–Israel bukan hanya drama geopolitik Timur Tengah. Ia telah menjadi katalis krisis ekonomi global, terutama melalui lonjakan harga minyak mentah dunia yang mengancam stabilitas energi di banyak negara, termasuk Indonesia. Jika Selat Hormuz terganggu—jalur vital pengiriman seperlima minyak dunia—harga bisa menembus US$120 per barel. Lonjakan ini segera merembes ke harga BBM, ongkos kirim, tarif transportasi, dan harga bahan pangan.
Inflasi tidak lagi menjadi angka statistik yang jauh dari realitas. Ia menjelma menjadi kecemasan nyata di meja makan rakyat. Masyarakat kelas bawah adalah korban pertama. Daya beli tergerus, biaya hidup melonjak, sementara penghasilan tetap.
Kondisi ini diperparah dengan melemahnya nilai tukar rupiah. Seperti krisis yang lalu-lalu, investor global kembali mencari “safe haven” di tengah konflik—meninggalkan pasar negara berkembang seperti Indonesia dan memperkuat dominasi dolar. Akibatnya, barang impor menjadi mahal, utang luar negeri bertambah beban, dan pelaku UMKM yang bergantung pada bahan baku luar negeri menjerit perlahan.
Gangguan jalur logistik internasional pun tak bisa diabaikan. Selat Hormuz, Laut Merah, dan sekitarnya adalah nadi ekonomi Asia. Ketika rute terganggu, biaya asuransi kapal naik, pengiriman tertunda, dan biaya logistik membengkak. Bagi Indonesia yang bergantung pada rantai pasok global, ini adalah ancaman ganda: inflasi impor dan stagnasi distribusi.
Pertanyaannya, di tengah ketidakpastian global ini, siapa yang menjaga pertahanan ekonomi Indonesia?
Jawabannya: rumah tangga. Di saat kebijakan pemerintah belum sepenuhnya tanggap, rakyat kecil yang bergerak lebih dulu. Mereka mengencangkan ikat pinggang, menanam sayur di pekarangan, membuka usaha rumahan, dan berhemat semaksimal mungkin. Namun, ketahanan rumah tangga tak bisa terus dijadikan tameng utama tanpa perlindungan dari negara.
Pemerintah seharusnya tidak hanya sibuk menghitung subsidi BBM atau menakar ulang APBN. Krisis ini harus menjadi momentum untuk menata ulang strategi ketahanan energi nasional. Indonesia terlalu lama bergantung pada energi fosil impor. Potensi energi surya, angin, panas bumi, dan biomassa yang melimpah belum digarap maksimal. Transisi energi tidak bisa ditunda hanya karena alasan fiskal atau politik elektoral.
Negara yang bergantung pada minyak dari kawasan rawan konflik akan selalu berdiri di atas tanah rapuh. Sebaliknya, negara yang mengelola energi bersih secara mandiri akan lebih kuat menghadapi guncangan global, dari perang hingga pandemi.
Krisis global, seperti konflik Iran–Israel, pada akhirnya menyadarkan kita: bahwa dunia ini rapuh, dan rakyat selalu menjadi lapisan pertama yang menanggung beban. Tapi krisis juga bisa menjadi cermin dan peluang. Peluang untuk membangun kembali dengan arah yang lebih berdaulat dan berkeadilan.
Jika pemerintah serius ingin menjaga stabilitas, maka mulai hari ini, transisi energi bersih bukan lagi sekadar wacana—tapi kebutuhan mendesak. Dan menjaga dapur rakyat tetap ngebul adalah bentuk tertinggi dari keadilan sosial yang dijanjikan konstitusi.
Namun di atas segala kecemasan, ujian global ini mestinya menguatkan niat kolektif kita untuk hidup lebih mandiri, lebih sederhana, dan lebih adil. Tuhan tidak pernah meninggalkan hamba-Nya yang bersungguh-sungguh dan yakin akan kekuasaan Allah. Selama kita bekerja sungguh-sungguh, jujur, berbagi dalam kekurangan, dan membangun negeri ini dengan tulus, yakinlah bahwa masa depan tetap ada harapan—sepanjang langit masih kita pandang dengan syukur, dan bumi kita jaga dengan tanggung jawab.
Comments
Post a Comment