Wifi Gratis di Balik Toko Kelontong

 

·      Namaku Raka. Usia dua puluh satu, lulusan SMA biasa dari keluarga yang lebih sibuk bertahan hidup daripada bicara cita-cita. Ayahku tukang angkut sayur di pasar, ibuku mencuci baju untuk tetangga. Hidup kami sederhana, tapi tidak pernah aku anggap hina.

Sejak lulus, aku bantu Ayah. Mulai dari angkut karung bawang, sampai dorong gerobak. Tapi setiap kali lewat depan toko kelontong Bu Darmi, mataku selalu berhenti pada tulisan itu:
“Wifi Gratis, Password Tanya Kasir.”

Bukan cuma karena wifi-nya, tapi karena aku menyimpan mimpi kecil yang tak pernah aku berani bilang keras-keras — aku ingin belajar coding. Aku ingin bisa membuat website. Bukan untuk pamer, tapi karena di dalam diriku, ada sesuatu yang ingin tumbuh.

Satu sore, setelah selesai angkut tomat dari lapak Bu Nur, aku singgah ke toko Bu Darmi.

“Bu, boleh minta password wifinya?”
Bu Darmi tersenyum, “Mau main apa, Rak?”
“Nggak main, Bu. Mau belajar.”

Dia memandangku sebentar, lalu mengangguk. “Belajar apa?”
“Belajar jadi orang,” kataku pelan, lalu tertawa kecil.
Bu Darmi ikut tertawa, tapi matanya hangat. “Bagus. Duduk aja situ, dekat rak sabun. Tapi jangan lupa beli permen ya, biar nggak rugi toko saya.”

Sejak itu, setiap sore aku datang. Duduk bersila, HP butut di tangan, headset sebelah mati, nonton video tutorial gratis dari YouTube: HTML Dasar, CSS Beginner, How to Make a Simple Website.

Kadang sinyalnya putus. Kadang videonya macet. Kadang ada anak kecil nabrak karena ngambil ciki. Tapi di sela semua itu, aku terus belajar. Satu kode demi satu kode. Satu sore demi satu sore. Dan satu harapan yang tak kutahu apakah bisa jadi nyata atau tidak — tapi tetap aku kejar.

Orang-orang heran. “Ngapain si Raka duduk di situ tiap hari?”
Tapi tak apa. Mimpi memang tak selalu bisa dijelaskan.

Tiga bulan kemudian, aku berhasil bikin satu halaman website sederhana. Jelek, tapi punya namaku. RakaDev. Aku bangga. Rasanya seperti menemukan jendela kecil di tengah tembok besar.

Bu Darmi lihat hasilnya. Dia kagum. “Rak, kamu bisa bantu bikin daftar produk toko saya online?”
“Bisa, Bu. Nanti saya ajarkan juga caranya, biar Bu bisa update sendiri.”

Toko kelontong itu tak lagi sekadar tempat beli sabun. Ia jadi ruang tumbuh. Tempat aku membangun percaya diri. Tempat aku tahu, bahwa belajar itu bisa dimulai dari mana saja — bahkan dari pojokan berdebu di antara rak bumbu dan tisu toilet.

Suatu malam, Bu Darmi tanya, “Kalau nanti kamu sudah sukses, masih ingat sama toko ini?”
Aku senyum. “Bu, dari sini saya belajar percaya diri. Dari sini saya kenal arti punya mimpi. Gimana bisa lupa?”

Kalau suatu hari nanti aku punya kantor sendiri, aku janji akan pasang tulisan besar di depan pintunya:
“Wifi Gratis. Password: Tanya Mimpi.”

 

Comments

Popular posts from this blog

Dari Jalanan Menjadi Destinasi: Mendirikan Bisnis Perjalanan Wisata Kota Berbasis Masyarakat

Rezeki Tak Pernah Salah Alamat: Optimisme dalam Ikhtiar Islami

Kang Ojek dan Sepatu Jebol: Misi Menolong Si Tukang Jalan Kaki