Posts

Kang Ojek dan Sepatu Jebol: Misi Menolong Si Tukang Jalan Kaki

  Pagi itu, langit Bandung mendung, dan Dika si tukang ojek online baru saja batal narik. Motor kesayangannya—yang dia panggil “Mio Z Ninja KW”—mogok total di depan gerbang kos. “Motor mogok, order sepi, saldo GoPay tinggal sisa dosa. Sempurna,” gumam Dika sambil duduk di pos ronda, ngelamun bareng semut. Tiba-tiba, dari kejauhan, muncul seorang pemuda jalan kaki cepat-cepat sambil menyeret... sepatu yang jebol parah . Separahnya sampai solnya nganga seperti mulut nunggu buka puasa. Pemuda itu tampak ngos-ngosan, celananya penuh percikan lumpur, dan ranselnya segede impian. “Bro, lu ngejar apaan?” tanya Dika penasaran. “Saya jalan kaki ke kantor. Telat dikit langsung potong gaji. Sepatu jebol, tapi ya gini deh... daripada nganggur,” jawabnya sambil senyum. Dika menganga. Ini bukan drama Korea, tapi vibes-nya menyentuh. Dengan spontan, Dika berdiri, lalu nyeletuk, “Bro, naik ojek gue aja. Motor mogok sih… tapi punggung gue masih kuat.” “Serius?” “Yoi. Sekali-kali ja...

Hijrah Hati, Hijrah Hidup

  Jam sudah menunjukkan pukul 01.42 dini hari. Langit Jakarta masih gelap, hanya sesekali terdengar suara kendaraan melintas. Fira duduk sendirian di ruang tamu kecilnya. Laptop kantor menyala, tetapi matanya kosong. Pikirannya jauh. Sore tadi ia baru saja dimarahi klien. Bosnya pun menegur di depan semua rekan kerja. Katanya, “Kamu tuh pintar, tapi gak punya arah.” Kalimat itu menancap dalam. Sejak kapan hidupnya begini berantakan? Di antara keheningan, matanya terarah ke rak buku. Sebuah mushaf Al-Qur’an yang dulu hadiah dari ibunya saat lulus kuliah, berdebu di sudut. Ia mendekat. Membuka halaman sembarang. Matanya tertumbuk pada ayat: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, sampai mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka.” Fira terdiam. Tangannya gemetar. Air matanya menetes tanpa aba-aba. “Apa aku terlalu jauh dari-Mu, ya Allah?” bisiknya pelan. Ia teringat masa kecil. Subuh-subuh diseret ibu ke masjid. Maghrib selalu diisi tadarus. Tapi kin...

Dari Parkir ke Kode

  Namanya Raka. Usianya baru 22, tapi hidup sudah menempanya seperti besi panas. Setiap malam, ia berdiri di bawah lampu redup parkiran minimarket. Peluit di tangan, rompi kusam, dan termos kopi yang selalu setengah penuh. “Parkir, Mas!” “Terima kasih, Bu!” Setiap senyuman dibayar recehan, tapi dia tak pernah mengeluh. Di balik raut wajah tenangnya, Raka menyimpan sesuatu yang besar: mimpi menjadi programmer. Siangnya, bukan waktu tidur untuk Raka. Ia duduk di pojok warung kopi, membuka laptop butut pinjaman dari teman, sambil membuka video tutorial gratis dan membaca buku bekas pemrograman yang ia beli dari loakan. Tak ada dosen. Tak ada kampus. Hanya semangat dan kuota dari paket harian. Setiap error di layar bukan akhir baginya, tapi pelajaran. Ia belajar Python dari awal, mencoba proyek-proyek kecil. Kadang gagal. Kadang frustrasi. Tapi setiap malam ia kembali lagi ke kodenya—seperti magnet yang tak pernah putus daya tariknya. Sampai suatu hari, ia memberanikan diri m...

Catatan Hijau di Buku Tua

  Pagi baru saja merekah ketika Dani menatap selembar kertas lusuh berisi coretan angka-angka. Gaji bulanan Rp3,2 juta, sewa kamar Rp800 ribu, makan harian Rp1 juta, transportasi Rp400 ribu, dan sisanya—nyaris selalu habis bahkan sebelum tanggal tua. Setiap bulan, ia berharap ada keajaiban. Tapi realitas selalu berkata lain: serba pas-pasan, serba mepet. Dani bekerja sebagai staf gudang di sebuah swalayan kecil. Lulusan SMK yang tak sempat kuliah, hidupnya terasa seperti roda kecil di mesin besar yang tak pernah berhenti berputar. Ia tak berani bermimpi besar. Baginya, bisa makan tiga kali sehari dan mengisi pulsa sudah cukup untuk disebut "syukur". Namun, diam-diam, ia lelah. Suatu malam, selepas isya di musala kecil kampung, Dani bertemu Pak Nurdin—penjual gorengan yang selalu cerah meski wajahnya dibakar matahari. Mereka duduk bersila, menyesap teh hangat sambil berbincang ringan. Sampai akhirnya Dani bertanya, "Pak, penghasilan Bapak kan lebih kecil dari saya, ta...

Api di Timur Tengah, Bara di Dapur Kita

  Ketika rudal ditembakkan di langit Iran dan Israel, getarannya terasa hingga meja makan rakyat Indonesia. Perang yang tampak jauh itu sesungguhnya sedang mengetuk dapur kita, memaksa ibu rumah tangga menakar ulang belanja harian, membuat petani berpikir dua kali sebelum membeli solar, dan memicu sopir ojek daring menghitung ulang penghasilan yang makin tipis. Konflik Iran–Israel bukan hanya drama geopolitik Timur Tengah. Ia telah menjadi katalis krisis ekonomi global, terutama melalui lonjakan harga minyak mentah dunia yang mengancam stabilitas energi di banyak negara, termasuk Indonesia. Jika Selat Hormuz terganggu—jalur vital pengiriman seperlima minyak dunia—harga bisa menembus US$120 per barel. Lonjakan ini segera merembes ke harga BBM, ongkos kirim, tarif transportasi, dan harga bahan pangan. Inflasi tidak lagi menjadi angka statistik yang jauh dari realitas. Ia menjelma menjadi kecemasan nyata di meja makan rakyat. Masyarakat kelas bawah adalah korban pertama. Daya beli...

Rezeki yang Datang dari Sujud

 Di tengah malam yang sunyi, ketika dunia terlelap dan kesibukan mereda, ada waktu istimewa yang diisyaratkan oleh Rasulullah ﷺ—shalat tahajud. Bukan sekadar ibadah tambahan, melainkan momen sakral yang membuka pintu langit dan menyegarkan jiwa yang penat. Di sepertiga malam terakhir itu, Tuhan turun ke langit dunia dan bertanya: "Adakah di antara hamba-Ku yang memohon, maka Aku kabulkan?" Shalat tahajud bukan sihir yang secara instan mendatangkan kekayaan. Tapi ia adalah jalan spiritual yang secara perlahan mengubah batin, mengasah kepekaan nurani, dan membangun kekuatan mental untuk menghadapi kehidupan. Dalam sujud yang hening, kita berlatih merendahkan diri, menaruh harapan kepada Tuhan, dan melepaskan beban dunia dengan doa yang tulus. Di sanalah benih-benih ketenangan dan keberkahan mulai tumbuh. Banyak kisah nyata dari mereka yang menjadikan tahajud sebagai gaya hidup spiritual. Seorang pedagang kecil yang awalnya serba pas-pasan, mulai merasakan kelancaran rezeki ...

Rezeki Tak Pernah Salah Alamat: Optimisme dalam Ikhtiar Islami

  Di tengah peliknya hidup, sering kali kita merasa tertinggal, tidak cukup cepat, atau bahkan tidak cukup "beruntung". Kita melihat orang lain berhasil lebih dahulu, mendapatkan pekerjaan impian, jodoh yang baik, atau penghasilan yang melimpah. Sementara kita masih berkutat dengan ujian demi ujian. Namun, dalam ajaran Islam, ada satu kalimat yang menjadi penyejuk hati dan penguat langkah: "Rezeki tak akan pernah salah alamat." Rezeki Sudah Dijamin, Tapi Tetap Perlu Diperjuangkan Allah SWT telah menjamin bahwa setiap makhluk-Nya akan mendapatkan rezeki. Dalam Surah Hud ayat 6, Allah berfirman: “Dan tidak ada satu makhluk melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya.” (QS. Hud: 6) Namun, bukan berarti rezeki akan datang begitu saja tanpa usaha. Islam mengajarkan pentingnya ikhtiar, kerja keras, dan kesabaran. Rasulullah SAW bersabda: "Seandainya kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakal, niscaya kalian akan diberi ...