Posts

Showing posts from June, 2025

Bangun dari Abu atau Mulai dari Nol? Menimbang Untung Rugi Mendirikan Koperasi Baru vs Menghidupkan yang Lama

Dalam semangat membangun ekonomi rakyat berbasis gotong royong, koperasi kembali jadi sorotan. Namun, satu pertanyaan strategis sering muncul di lapangan: apakah lebih baik mendirikan koperasi baru atau menghidupkan koperasi lama yang sudah mati suri? Jawabannya tidak sesederhana hitam dan putih, karena masing-masing pilihan membawa kelebihan, risiko, dan konsekuensinya sendiri. Kelebihan dan Tantangan Mendirikan Koperasi Baru Mendirikan koperasi baru menawarkan lembaran kosong yang bisa ditulis dengan nilai-nilai terkini. Visi dan misi bisa dirancang sesuai kebutuhan zaman, struktur kepengurusan bisa dibentuk dari figur-figur terpercaya, dan sistem operasional bisa didesain berbasis teknologi digital sejak awal. Keunggulan utama: • Tidak membawa beban sejarah atau konflik lama. • Lebih mudah membangun budaya kerja yang sehat dan terbuka. • Bisa langsung fokus pada peluang ekonomi yang relevan dengan situasi saat ini. Namun, proses pendirian tidak mudah. Tantangannya: • Proses ...

Restart Koperasi: 7 Langkah Nyata Menggerakkan Kembali Koperasi yang Lumpuh

Di seluruh penjuru Indonesia, dari kampung nelayan hingga kota satelit, ada banyak koperasi yang dulunya aktif, namun kini nyaris mati: kantor tutup, anggota tak aktif, simpanan macet, dan semangat gotong royong terkubur dalam tumpukan arsip lama. Namun, koperasi yang lumpuh belum tentu gagal selamanya. Ia hanya butuh restart—bukan dengan semangat lama, melainkan dengan pendekatan baru: lebih partisipatif, transparan, dan relevan dengan zaman. Berikut ini adalah 7 langkah konkret dan terbukti untuk menggerakkan kembali koperasi yang nyaris mati, agar menjadi motor ekonomi kolektif yang hidup dan berdampak.   1. Audit Kejujuran: Telusuri Akar Masalahnya Sebelum memulai, kita harus berani membuka catatan lama. Kenapa koperasi ini lumpuh? • Apakah karena pengurus tidak akuntabel? • Apakah karena tidak ada produk atau layanan yang menarik bagi anggota? • Apakah anggota kehilangan kepercayaan karena tidak pernah dilibatkan? Lakukan audit menyeluruh, tidak hanya keuangan tetapi jug...

“Seragam Robek, Nilai Sempurna”

  Aku Naya. Anak SMK biasa, tinggal di gang sempit yang kadang becek, kadang ramai suara tukang bakso lewat. Seragam sekolahku cuma satu. Udah tipis, ada sobekan kecil di ujung lengan kanan. Tapi itu yang kupakai tiap hari, dicuci malam, dijemur sebelum subuh. Aku nggak malu. Tapi kadang... ya, sedih juga. Apalagi pas liat teman-teman ganti seragam baru, pakai sepatu keren, bawa bekal lucu. Sementara aku cuma bawa air putih dan nasi bungkus dari warung Mak Jum. Tapi aku percaya, Tuhan itu adil. Kalau aku nggak bisa punya banyak, mungkin aku diminta untuk berusaha lebih keras. Jadi aku belajar. Setiap malam, meski lampu rumah sering padam, aku nyalain lilin atau duduk di warung depan yang masih terang. Baca buku, hafalin rumus, tulis-tulis catatan kecil yang kuselipkan di dompet plastik. Kadang tukang gorengan di warung nyeletuk, "Belajar terus, Nay? Nggak capek?" Aku cuma senyum, “Capek, Bang. Tapi lebih capek kalau mimpi nggak kejar-kejar.” Ujian datang juga. Aku...

“Satu Kamar Tiga Impian”

  Kami tinggal di satu kamar sempit. Tiga bersaudara, satu kasur lipat, satu lampu gantung yang kedip-kedip kalau hujan deras datang. Temboknya lembap, tapi kepala kami selalu hangat oleh mimpi. Aku, Raka, dan Fian. Aku yang paling tua, anak kelas 12 SMK. Raka kelas 9, dan Fian masih SD. Setiap malam sebelum tidur, kami selalu tanya ke diri sendiri: "Hari ini, sudah seberapa dekat kita dengan mimpi?" Fian paling cerewet. “Aku mau jadi YouTuber! Biar bisa bantu Ibu, biar viral, biar bisa beli rumah!” Raka lebih kalem, “Aku mau jadi chef, Ka. Yang masaknya bukan buat orang kaya, tapi buat orang-orang kayak kita.” Aku? Diam. Tapi dalam hati aku janji: "Gue yang bakal dorong kalian sampai mimpi itu kejadian." Kami tahu dunia nggak ramah. Kami udah sering diledek karena baju bolong, karena nggak punya HP bagus, karena nggak pernah jajan di kantin. Tapi kami juga tahu, yang bikin orang bisa berdiri tinggi, bukan dari sepatu mahal… tapi dari tekad yang nggak...

Salah Kirim GoFood, Benar Dapat Pahala

  Siang itu, Fajar lagi rebahan sambil nonton video review makanan. Di tangannya, aplikasi GoFood sudah terbuka, dan jempolnya mantap memesan: Ayam Geprek Level 5 , nasi uduk, dan teh manis jumbo. Semua serba pedas, semua serba niat. "Ini sih bukan makan siang, tapi penyiksaan spiritual," gumamnya sambil klik order now . Lima belas menit kemudian, abang GoFood datang, tapi ada yang aneh. “Mas Fajar?” “Ya, saya!” “Tapi ini alamatnya RT 06... ini RT 03.” Fajar melongo. Ternyata... dia salah klik alamat . Bukan rumahnya yang terdaftar, tapi rumah lamanya , dua gang sebelah! Panik, Fajar berlari ke alamat itu. Sesampainya di sana, seorang ibu tua berkain batik sedang duduk di teras sambil menatap plastik GoFood penuh harap. “Ibu… maaf, itu harusnya buat saya,” kata Fajar sambil terengah. Ibu itu senyum kecil, “Saya pikir ini dari anak saya di Jakarta. Tapi ternyata bukan ya?” Fajar langsung beku. Di titik itu, ayam geprek mendadak terasa seperti ayam surga. D...

Reva, dan 100 Kotak Nasi dari Uang Jajan

  Nama lengkapnya Revalina Putri Maharani. Tapi teman-temannya lebih sering panggil dia: Reva. Anak tunggal, cucu konglomerat, sekolah di SMA internasional, dan punya lebih banyak sepatu daripada jumlah tugas mingguan. Tiap pagi Reva diantar sopir dengan mobil listrik warna pastel, masuk sekolah dengan aroma parfum mahal, dan duduk di kantin yang lebih mirip café Instagramable. Tapi dia diam. Tidak suka pamer. Tidak suka keramaian. Reva punya satu kebiasaan aneh. Tiap Jumat siang, dia selalu minta turun dari mobil jauh dari rumah. “Biar jalan kaki sebentar, Pak. Sekalian lihat dunia,” katanya ke sopir. Tapi kenyataannya… dia tidak pulang. Dia belok ke warteg kecil di pojokan gang. Warteg yang lampunya remang dan kursinya tiga. “Ibu, hari ini masih bisa buat 100 kotak nasi rendang telur?” Si ibu warteg melongo, lalu tersenyum lebar, “Masih bisa, Nak Reva. Untuk Jum’at berkah lagi ya?” Reva angguk. Dari tas kecilnya, dia keluarkan amplop putih. Isinya uang jajan seming...

“Leon, Anak Orang Kaya yang Nongkrong di Masjid”

  Leon bukan nama yang biasa terdengar di masjid kampung kami. Nama itu lebih cocok buat anak-anak di sekolah internasional, yang nongkrongnya di rooftop café sambil bawa laptop dan minum kopi seharga sepiring nasi padang. Dan memang… Leon bukan anak biasa. Anak tunggal dari pemilik showroom mobil terbesar di kota. Sekolahnya di luar negeri, liburannya ke Swiss, bajunya selalu wangi parfum mahal. Tapi sejak pulang ke Indonesia tahun lalu, kami mulai sering lihat dia… duduk di tangga masjid. Pakai kaos polos, sandal jepit, dan celana training. Tanpa gaya. Kadang tidur siang di serambi, kadang bantu ngepel sajadah tanpa diminta. Awalnya kami kira itu cuma “fase hijrah sementara”. Tapi minggu demi minggu, bulan berganti bulan, Leon tetap di situ. Ikut salat jamaah, bantu bagi-bagi takjil, bahkan pernah jadi MC acara Maulid yang bikin ibu-ibu takjub: “Waduh, anak siapa itu, santun banget ngomongnya…” Ada satu sore yang aku ingat betul. Leon duduk di tangga masjid, lihati...

“Laptop dari Barang Rongsokan”

  Namaku Reza. Aku tinggal di gang kecil, dekat pasar loak. Setiap pagi aku bantu ibu jualan lontong sayur, sore kadang bantu tetangga angkat-angkat barang bekas. Sekolah? Alhamdulillah masih bisa. SMK jurusan listrik. Aku suka barang elektronik, walau nggak punya satupun barang elektronik bagus. Tapi aku suka lihat kabel-kabel, nyoba nyambungin, nebak mana yang masih hidup. Hobi aneh, kata temanku. Tapi di kepala aku, selalu ada pertanyaan: "Kalau aku bisa nyambungin kabel mati, bisa nggak aku sambung juga hidupku yang kayak putus nyambung begini?" Suatu hari, aku nemu bangkai laptop di tumpukan besi tua dekat lapak rongsokan. Layarnya retak, engselnya copot, dan ada sarang semut di dalamnya. Tapi entah kenapa... aku bawa pulang juga. Ibu cuma ngelus dada, “Itu rongsokan, Za...” Aku tahu. Tapi aku lihat kemungkinan. Satu per satu, aku kumpulin part dari komputer bekas, mainan rusak, keyboard dari warnet tutup. Aku rakit malam-malam, ditemani suara cicak dan kipas ...

"Langit Pagi di Mata Rayhan"

  Setiap pagi, langit belum sepenuhnya terang saat Rayhan memutar kunci motor tuanya. Usianya baru 19, tapi langkahnya sudah sedewasa doa ibunya—yang setiap subuh terdengar lirih dari ruang tengah, membelah sunyi dengan harap: semoga anak-anaknya tetap kuat hari ini. Rayhan bukan hanya anak sulung. Ia adalah pengganti ayah, penjaga rumah, dan harapan yang tak boleh tumbang. Sejak ayah mereka wafat lima tahun lalu karena kecelakaan kerja, Rayhan berhenti sekolah. Bukan karena menyerah, tapi karena ia tahu: adik-adiknya, Salma dan Rania, harus tetap bermimpi, dan ibunya tidak boleh menangis dalam diam. Di pasar subuh, Rayhan menata dagangan sayur dari kebun pinjaman. Ia bukan pedagang besar, tapi punya kejujuran yang mahal. Ia menolak uang lebih, ia bantu tetangga jinjing belanja. "Rezeki itu soal keberkahan, bukan hanya jumlah," katanya, sambil tersenyum pada nenek tua yang menawar tomat dengan receh pas-pasan. Di saku bajunya, selalu ada kertas kecil berisi tulisan tang...

Kang Ojek dan Sepatu Jebol: Misi Menolong Si Tukang Jalan Kaki

  Pagi itu, langit Bandung mendung, dan Dika si tukang ojek online baru saja batal narik. Motor kesayangannya—yang dia panggil “Mio Z Ninja KW”—mogok total di depan gerbang kos. “Motor mogok, order sepi, saldo GoPay tinggal sisa dosa. Sempurna,” gumam Dika sambil duduk di pos ronda, ngelamun bareng semut. Tiba-tiba, dari kejauhan, muncul seorang pemuda jalan kaki cepat-cepat sambil menyeret... sepatu yang jebol parah . Separahnya sampai solnya nganga seperti mulut nunggu buka puasa. Pemuda itu tampak ngos-ngosan, celananya penuh percikan lumpur, dan ranselnya segede impian. “Bro, lu ngejar apaan?” tanya Dika penasaran. “Saya jalan kaki ke kantor. Telat dikit langsung potong gaji. Sepatu jebol, tapi ya gini deh... daripada nganggur,” jawabnya sambil senyum. Dika menganga. Ini bukan drama Korea, tapi vibes-nya menyentuh. Dengan spontan, Dika berdiri, lalu nyeletuk, “Bro, naik ojek gue aja. Motor mogok sih… tapi punggung gue masih kuat.” “Serius?” “Yoi. Sekali-kali ja...